Sabtu, Mei 30, 2009

beberapa dari banyak kekejaman israel





Read More ..

Kamis, Mei 28, 2009

SIFAT MANDI JUNUB DAN PERBEDAANNYA DENGAN MANDI HAIDH

Oleh Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta'
________________________________________

Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta' ditanya : Apakah ada perbedaan antara mandi junub seorang pria dengan mandi junub seorang wanita ? Dan apakah seorang wanita harus melepas ikatan rambutnya atau cukup baginya menuangkan air di atas kepalanya tiga kali tuang berdasarkan suatu hadits ? Apa bedanya antara mandi junub dengan mandi haid.?

Jawaban
Tidak ada perbedaan bagi pria dan wanita dalam hal sifat mandi junub, dan masing-masing tidak perlu melepaskan ikatan rambutnya akan tetapi cukup baginya untuk menuangkan air di atas kepalanya sebanyak tiga tuang kemudian setelah itu menyiramkan air ke seluruh tubuhnya berdasarkan hadits Ummu Salamah Radhiyallahu 'anha, bahwa ia berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Sesungguhnya saya seorang wanita yang mengikat gulungan rambut kepala saya, apakah saya harus melepaskan ikatan rambut itu untuk mandi junub ?". Rasulullah menjawab :
"Artinya : Tidak, akan tetapi cukup bagimu untuk menuangkan air sebanyak tiga kali di atas kepalamu, kemudian kamu sirami seluruh tubuhmu dengan air, maka (dengan demikian) kamu telah bersuci" [Hadits Riwayat Muslim].
Jika di atas kepala seorang lelaki maupun wanita terdapat ikatan atau pewarna rambut atau sesuatu lainnya yang dapat menghalangi mengalirnya air ke kulit kepala, maka wajib dihilangkan, akan tetapi jika itu ringan dan tidak menghalangi mengalirnya air ke kulit kepala maka tidak wajib dihilangkan.

Adapun mandinya wanita setelah haidh, para ulama berbeda pendapat tentang wajib atau tidaknya melepaskan ikatan rambutnya untuk mandinya. Yang benar, bahwa ia tidak harus melepaskan ikatan rambutnya untuk mandi tersebut, hal ini berdasarkan beberapa riwayat hadits Ummu Salamah yang diriwayatkan Muslim bahwa ia (Ummu Salamah) berkata kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Sesunguhnya saya seorang wanita yang mengikat gulungan rambut kepalaku, apakah saya harus melepaskan ikatan rambut itu untuk mandi junub ?" Rasulullah menjawab:
"Artinya : Tidak, akan tetapi cukup bagimu untuk menuangkan air sebanyak tiga kali di atas kepalamu, kemudian kamu sirami seluruh tubuhmu dengan air, (dengan demikian) maka kamu telah bersuci".
Riwayat hadits Nabi ini adalah merupakan dalil yang menunjukkan tidak adanya kewajiban untuk melepaskan ikatan rambut untuk mandi junub atau untuk mandi haidh, akan tetapi sebaiknya ikatan rambut itu dilepas saat mandi haidh sebagai sikap waspada dan untuk keluar dari perselisihan pendapat serta memadukan dalil-dalil dalam hal ini.
[Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta', 5/320]

________________________________________
Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-fatwa Tentang Wanita penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq, hal. 20-21 penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin
________________________________________ Read More ..

SEANDAINYA ORANG TUA MENYURUH UNTUK BERCERAI


Oleh
Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Apabila kedua orang tua menyuruh anak untuk menceraikan istrinya, apakah harus ditaati atau tidak ?

Dibawah ini dibawakan beberapa hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wassalam, diantaranya yang diriwayatkan Imam Tirmidzi dan Abu Dawud.

"Artinya : Dari sahabat Abdullah bin Umar berkata : "Aku mempunyai seorang istri serta mencintainya dan Umar tidak suka kepada istriku. Kata Umar kepadaku, 'Ceraikanlah istrimu', lalu aku tidak mau, maka Umar datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menceritakannya, kemudian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepadaku, 'Ceraikan istrimu'" [Hadits Riwayat Abu Dawud 5138, Tirmidzi 1189, dan Ibnu Majah 2088]

Hadits kedua diriwayatkan oleh Abu Darda.

"Artinya : Dari Abu Darda Radhiyallahu 'anhu bahwa ada seorang datang kepadanya berkata, "Sesunggguhnya aku mempunyai seorang istri dan ibuku menyuruh untuk menceraikannya. Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Orang tua itu adalah sebaik-baik pintu surga, seandainya kamu mau maka jagalah pintu itu jangan engkau sia-siakan maka engkau jaga" [Hadits ini diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Tirmidzi mengatakan hadits ini Hasan Shahih].

Hadist ini dijadikan dalil oleh sebagian ulama bahwa seandainya orang tua kita menyuruh untuk menceraikan istri kita, wajib ditaati. [Nailul Authar 7/4]

Ini terjadi bukan hanya pada zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam saja tetapi juga pada zaman Nabi Ibrahim 'Alaihis Shalatu wa sallam. Ketika Ibrahim 'Alaihi Shalatu wa sallam berkunjung ke rumah anaknya -Ismail 'Alaihi salam- dan anaknya saat itu tidak ada di tempat, kemudian Ibrahim berkata kepada istri Ismail 'Alaihi Salam, "Sampaikan pada suamimu hendaklah dia mengganti palang pintu ini" . Ketika Ismail datang, istrinya mengatakan bahwa ada orang tua yang datang menyuruh ganti palang pintu. Ismail kemudian mengatakan bahwa orang tua yang datang itu adalah ayahnya yang menyuruh menceraikan istrinya. [Hadits Riwayat Bukhari no. 3364 (Fathul Baari 6/396-398)]

Sebagian ulama yang lain mengatakan jika orang tua kita menyuruh menceraikan istri tidak harus diataati. [Masaail min Fiqil Kitab wa Sunnah hal. 96-97]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ketika ditanya tentang seseorang yang sudah mempunyai istri dan anak kemudian ibunya tidak suka kepada istrinya dan mengisyaratkan agar menceraikannya, Syaikhul Islam berkata, "Tidak boleh dia mentalaq istri karena mengikuti perintah ibunya. Menceraikan istri tidak termasuk berbakti kepada Ibu" [Majmu' Fatawa 33/112]

Ada orang bertanya kepada Imam Ahmad, "Apakah boleh menceraikan istri karena kedua orang tua menyuruh untuk menceraikannya ?" Dikatakan oleh Imam Ahmad, "Jangan kamu talaq". Orang tersebut bertanya lagi, "Tetapi bukankah Umar pernah menyuruh sang anak menceraikan istrinya ?" Kata Imam Ahmad, "Boleh kamu taati orang tua, jika bapakmu sama dengan Umar, karena Umar memutuskan sesuatu tidak dengan hawa nafsu" [Masail min Fiqil Kitab wa Sunnah hal. 27]

Permasalahan mentaati perintah orang tua ketika diminta untuk menceraikan istri, sudah berlangsung sejak lama. Oleh karena itu para imam (aimmah) sudah menjelaskan penyelesaian dari permasalahan tersebut. Pada zaman Imam Ahmad (abad kedua) dan zaman Syaikhul Islam (abad ketujuh) permasalahan ini sudah terjadi dan sudah dijelaskan bahwa tidak boleh taat kepada kedua orang tua untuk menceraikan istri karena hawa nafsu. Kecuali jika istri tidak taat pada suami, berbuat zhalim, berbuat kefasikan, tidak mengurus anaknya, berjalan dengan laki-laki lain, tidak pakai jilbab (tabaruj/memperlihatkan aurat), jarang shalat dan suami sudah menasehati dan mengingatkan tetapi istri tetap nusyuz (durhaka), maka perintah untuk menceraikan istri wajib ditaati. Wallahu 'Alam

[Disalin dari Kitab Birrul Walidain, edisi Indonesia Berbakti Kepada Kedua Orang Tua oleh Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, terbitan Darul Qolam - Jakar
Read More ..

PROBLEMATIKA WANITA PEKERJA

Wanita karir, dalam segala levelnya, kian hari kian mewabah. Dari posisi pucuk pimpinan negara, top executive, hingga kondektur bus bahkan tukang becak. Hingga kini boleh dibilang nyaris tidak ada jenis profesi yang belum terambah kaum hawa. Nampaknya, wanita telah meninggalkan kehidupannya yang khas pada era agraris. Pada era tersebut ia adalah makhluk rumah sejati. Ia mengasuh anak-anaknya dengan setia, juga berperan dalam perekonomian keluarga dengan aktivitas di ladang-ladang tradisional seputar rumahnya. Dalam mitos pertanian, wanita adalah petani pertama di muka bumi ini. Sang suami, berkelana dari hutan ke hutan, padang ke padanguntuk berburu binatang. Ketika binatang-binatang tertentu ternyata diketahui dapat dipelihara dan diternakkan maka pertanian dikembangkan secara intensif. Wanita pun masih tak beranjak dari posisinya. Mereka tahu kapan menemui suami di ladang, menyusui anak, dan kapan harus menanak nasi dirumah. Dan yang khas, mereka tidak pernah bekerja pada suami orang lain. Materialisme yang subur pada masa Renaissance telah menggiring manusia pada era industrialisasi. Pandangan baru ini melihat wanita dan laki-laki sama saja kodratnya, yakni sebagai faktor produksi. Hanya saja dengan dilatarbelakangi pertimbangan fisik dan kelas sosial yanmg berlaku upah kerja wanita selalu nomor dua. Kapitalisme menghancurkan industri rumah tangga satu persatu. Satu superpabrik dengan multi produksi cukup untuk satu kota atau negara. Dan manusia pekerja tersedot ke dalamnya, termasuk wanita. Wanita pun akhirnya berduyun-duyun meninggalkan “istananya”, berbaur dengan pria memasuki pabrik untuk menjadi pekerja atau buruh dengan upah rendah. Ketika itu pula, mulai terdengar jerit tangis para balita yang pagi hari sudah kehilangan ibunya. “Dengan bekerja, saya bisa membelikan susu anak saya dan membelikan banyak mainan untuk mereka. Suatu hal yang sulit jika saya hanya mengandalkan gaji suami yang pas-pasan.” Demikian argumen yang sering kita dengar yang sepintas mungkin sangat manusiawi. Namun sayang, harga yang dibayar terlampau mahal dari hanya sekedar susu formula dan mainan anak-anak. Kasih sayang yang hilang, kecemasan, dan ketakutan anak-anak ketika ditinggal sang ibu, akan masuk ke alam bawah sadarnya dan mempengaruhi perkembangan pribadinya hingga kelak dia dewasa. Pendidikan dien dan akhlak pun merupakan hal yang sangat sulit jika seharian hanya berinteraksi dengan pembantu dan dididik televisi. Lantas, bagaimanakah jadinya generasi ini? Motif yang lain yang lebih tinggi tinggi tingkatannya adalah motif psikologis dan tuntutan untuk mengaplikasikan ilmu yang telah didapat. Gerakan emansipasi yang didengungkan wanita barat telah berhasil memancing naluri wanita seantero bumi untuk berusaha menunjukkan eksistensinya. Wanita memang hebat. Banyak diantara wanita yang tidak kalah berhasil bahkan lebih berprestasi daripada kaum pria.
Namun, di lain pihak, bisakah para wanita menjadi “super women” yang sukses dalam menjalankan peran gandanya? Jika kemudian statistik menunjukkan angka kriminalitas, perceraian, perselingkuhan meningkat dikarenakan terabaikannya keluarga sebagai basis pendidikan moral yang utama, sungguh, lagi-lagi harga yang dibayar terlalu mahal. Suatu hal yang dilematis, memang, jika kemudian wanita bekerja didorong oleh tuntutan untuk mengaplikasikan ilmu yang telah ia dapat. Dalam hal ini, Syaikh Abdullah bin Hamd Al-Jalali dalam kitabnya : “Syubhat fi thariq al mar’ah al-muslimah” memberikan nasehat kepada para wanita muslimah untuk mempelajari ilmu yang bermanfaat sesuai dengan kebutuhan wanita dan masyarakat walaupun tidak merupakan keharusan maupun fardu kifayah. Harus ada relevansi antara belajar dengan kebutuhannya sehingga wanita tidak menuntut sesuatu yang tidak diperlukan olehnya atau masyarakatnya. Jika keadaan memaksa hingga wanita musti bekerja di luar rumah, Islam telah memberikan batasannya. 1.
1. Harus seizin walinya (ayah atau suami) untuk pekerjaan mubah, seperti mengajar anak putri atau menjadi perawat bagi pasien wanita
2. Tidak ikhtilat (campur baur) dengan pria atau berkhlawat dengan pria
3. Tidak bertabarruj dan memperlihatkan perhiasan atau kecantikannya.
4. Tidak bersolek dan memekai parfum
5. Memakai hijab yang sesuai syari’at.
Bagaimanapun juga, tempat bekerja wanita yang sesungguhnya dan yang paling mulia adalah di dalam rumahnya. Disanalah wanita akan senantiasa terlindungi dan dapat lebih dekat dengan Allah manakala menetap di rumah, mencari ridha Allah dengan cara beribadah kepada-Nya, mencurahkan segenap kemampuan untuk mendidik sang buah hati, mentaati suami, dan memberikan kasih sayang kepada anggota keluarga.
“Wanita adalah pemimpin rumah suaminya, maka bertanggung jawab atas kepemimpinannya” (HR. Bukhari) Wanita yang hebat, bukanlah mereka yang harus bersaing berebut dunia dengan kaum pria. Wanita yang sukses adalah yang bertanggung jawab dengan tugas utama yang dianugerhakan Allah atasnya: mendidik generasi tangguh masa depan. Wallahu a’lam. Maraji’:
1. Tanggung Jawab Wanita Aktivis Islam, Syaikh Abdullah bin Jaarullah Ibrahim Al-Jaarullah.
2. Jawaban Islam terhadap Syubhat yang Dituduhkan kepada Wanita Muslimah, Abdullah bin Hamd Al-Jalaaly
3. Dilema Wanita Karir, Sabili, no 05/th V-1992
4. Fiqhun-Nisa’ Industrialisme, Sabili, no. 33/th II-1991
Read More ..

POSISI WANITA BILA MELIHAT KELUARGA BERBUAT SUATU KEMUNGKARAN

Pertanyaan.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : "Jika seorang wanita mukminah melihat salah seorang keluarganya berbuat suatu kemungkaran, bagaimana kedudukannya ?.

Jawaban.

Dia berkewajiban untuk mengingkari kemungkaran itu dengan cara yang baik, perkataan yang baik dan lemah lembut kepada orang yang berbuat kemungkaran, karena bisa jadi kemungkaran yang diperbuatnya dikarenakan kebodohan atau karena prilaku yang tidak baik.

Apabila dilarang dengan keras kemudian kemungkarannya semakin menjadi-jadi, maka harusnya ia melarangnya dengan cara yang baik dan ucapan yang lemah lembut beserta dalil-dalil yang jelas dari ayat-ayat Al-Qur'an, sunnah-sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mendo'akannya agar mendapat taufik dari Allah.

Demikian hendaknya seorang berbuat amar ma'ruf nahi mungkar, disertai ilmu dan pengetahuan, lemah lembut, melakukan berbagai hal untuk menjadikannya mau menerima kebenaran tanpa menjadikannya lari atau keras kepala dari kebenaran. Maka hendaknya seorang yang beramar ma'ruf nahi mungkar menggunakan kata-kata yang lembut, yang diharapkan bisa menjadikannya mau menerima kebenaran. [Majmu' Fatawa wa Rasail Mutanawwi'ah, Syaikh Bin Baz, 4/233]

KEMUNGKARAN BERUPA IKHTILATH DAN TIDAK BERHIJAB

Pertanyaan.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : "Apabila kemungkaran yang dilihat oleh saudara perempuan yang seiman adalah 'ikhtiltah' dan tidak memakai hijab, maka bagaimana dia harus menasehati mereka ?"

Jawaban.

Dia harus menasehati mereka dengan mengatakan kepadanya : "Kamu tidak boleh 'ikhtilath' dan membuka hijab serta memperhatikan maslahat menutup aurat di hadapan kaum lelaki yang bukan mahrammu. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Apabila kamu meminta mereka (isteri-isteri Nabi) suatu barang maka mintalah dari belakang hijab, yang demikian itu lebih suci untuk hatimu dan hati mereka" [Al-Ahzab : 53]

"Artinya : Dan janganlah ia memperhatikan perhiasannya kecuali untuk suaminya" [An-Nur : 31]

Dan hendaknya ia menyampaikan ayat-ayat dan hadits yang sesuai dengan siatuasi dan kondisi dan didalamnya terdapat penjelasan sesuatu yang diperlukan dan peringatan atas perbuatan yang bertentangan dengan syara' yang suci dan hendaknya pula ia menjelaskan kepada saudara-saudara perempuannya yang seiman bahwa kewajiban bagi kita semua adalah berhati-hati terhadap sesuatu yang diharamkan oleh Allah dan saling tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa serta saling berwasiat dengan kebaikan dan sabar atasnya. [Majmu' Fatawa wa Rasail Mutanawwi'ah, Syaikh Bin Baz, 4/234]

[Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah (Fatwa-Fatwa Tentang Wanita -3), hal. 198-201, Darul Haq] Read More ..

Valentine Day

Valentine Day
Hari Raya Mengenang Pendeta.
Muda-Mudi Muslim, Jangan Tersesatkan !!!
Memasuki bulan Februari, kita menyaksikan banyak media massa, mal-mal, pusat-pusat hiburan bersibuk-ria berlomba menarik perhatian para remaja dengan menggelar acara-acara pesta perayaan yang tak jarang berlangsung hingga larut malam bahkan hingga dini hari. Semua pesta tersebut bermuara pada satu hal yaitu Valentine's Day atau biasanya disebut hari kasih sayang. Biasanya pada 14 Februari mereka saling mengucapkan "selamat hari Valentine", berkirim kartu dan bunga, saling bertukar pasangan, saling curhat, menyatakan sayang atau cinta. Sangat disayangkan banyak ABG khususnya teman-teman kita, para remaja putri muslimah yang terkena penyakit ikut-ikutan dan mengekor budaya Barat atau budaya ritual agama lain akibat pengaruh TV dan media massa lainnya. Termasuk dalam hal ini perayaan Hari Valentine, yang pada dasarnya adalah mengenang kembali pendeta St.Valentine. Belakangan, Virus Valentine tidak hanya menyerang remaja bahkan orang tua pun turut larut dalam perayaan yang bersumber dari budaya Barat ini.
SEJARAH HARI VALENTINE Ensiklopedia Katolik menyebutkan tiga versi tentang Valentine, tetapi versi terkenal adalah kisah Pendeta St.Valentine yang hidup di akhir abad ke 3 M di zaman Raja Romawi Claudius II. Pada tanggal 14 Februari 270 M Claudius II menghukum mati St.Valentine yang telah menentang beberapa perintahnya. Claudius II melihat St.Valentine meng-ajak manusia kepada agama Nashrani lalu dia memerintahkan untuk menangkapnya. Dalam versi kedua , Claudius II memandang para bujangan lebih tabah dalam berperang daripada mereka yang telah menikah yang sejak semula menolak untuk pergi berperang. Maka dia mengeluarkan perintah yang melarang pernikahan. Tetapi St.Valentine menentang perintah ini dan terus mengada-kan pernikahan di gereja dengan sembunyi-sembunyi sampai akhirnya diketahui lalu dipenjarakan. Dalam penjara dia berkenalan dengan putri seorang penjaga penjara yang terserang penyakit. Ia mengobatinya hingga sembuh dan jatuh cinta kepadanya. Sebelum dihukum mati, dia mengirim sebuah kartu yang bertuliskan "Dari yang tulus cintanya, Valentine." Hal itu terjadi setelah anak tersebut memeluk agama Nashrani ber-sama 46 kerabatnya. Versi ketiga menyebutkan ketika agama Nashrani tersebar di Eropa, di salah satu desa terdapat sebuah tradisi Romawi yang menarik perhatian para pendeta. Dalam tradisi itu para pemuda desa selalu berkum-pul setiap pertengahan bulan Februari. Mereka menulis nama-nama gadis desa dan meletakkannya di dalam sebuah kotak, lalu setiap pemuda mengambil salah satu nama dari kotak tersebut, dan gadis yang namanya keluar akan menjadi kekasihnya sepanjang tahun. Ia juga mengirimkan sebuah kartu yang bertuliskan " dengan nama tuhan Ibu, saya kirimkan kepadamu kartu ini." Akibat sulitnya menghilangkan tradisi Romawi ini, para pendeta memutuskan mengganti kalimat "dengan nama tuhan Ibu" dengan kalimat " dengan nama Pendeta Valentine" sehingga dapat mengikat para pemuda tersebut dengan agama Nashrani. Versi lain mengatakan St.Valentine di-tanya tentang Atharid, tuhan perdagangan, kefasihan, makar dan pencurian, dan Jupiter, tuhan orang Romawi yang terbesar. Maka dia menjawab tuhan-tuhan tersebut buatan manusia dan bahwasanya tuhan yang sesungguhnya adalah Isa Al Masih, oleh karenanya ia dihukum mati. Maha Tinggi Allah dari apa yang dikatakan oleh orang-orang yang dzalim tersebut. Bahkan saat ini beredar kartu-kartu perayaan keagamaan ini dengan gambar anak kecil dengan dua sayap terbang mengitari gambar hati sambil mengarahkan anak panah ke arah hati yang sebenarnya itu merupakan lambang tuhan cinta bagi orang-orang Romawi!!!
HUKUM MERAYAKAN HARI VALENTINE Keinginan untuk ikut-ikutan memang ada dalam diri manusia, akan tetapi hal tersebut menjadi tercela dalam Islam apabila orang yang diikuti berbeda dengan kita dari sisi keyakinan dan pemikirannya. Apalagi bila mengikuti dalam perkara akidah, ibadah, syi'ar dan kebiasaan. Padahal Rasul Shallallaahu 'alaihi wa sallam telah melarang untuk mengikuti tata cara peribadatan selain Islam: "Barang siapa meniru suatu kaum, maka ia termasuk dari kaum tersebut ." (HR. At-Tirmidzi). Bila dalam merayakannya bermaksud untuk mengenang kembali Valentine maka tidak disangsikan lagi bahwa ia telah kafir, adapun bila ia tidak bermaksud demikian maka ia telah melakukan suatu ke-mungkaran yang besar. Ibnul Qayyim berkata, "Memberi selamat atas acara ritual orang kafir yang khusus bagi mereka, telah disepakati bahwa perbuatan tersebut haram. Semisal memberi selamat atas hari raya dan puasa mereka, dengan mengucapkan, "Selamat hari raya!" dan semisalnya. Bagi yang mengucapkannya, kalau pun tidak sampai pada kekafiran, paling tidak itu merupakan perbuatan haram. Berarti ia telah memberi selamat atas perbuatan mereka yang menyekutu-kan Allah. Bahkan perbuatan tersebut lebih besar dosanya di sisi Allah dan lebih dimurkai dari pada memberi selamat atas perbuatan minum khamar atau membunuh. Banyak orang yang kurang mengerti agama terjerumus dalam suatu perbuatan tanpa menyadari buruknya perbuatan tersebut. Seperti orang yang memberi selamat kepada orang lain atas perbuatan maksiat, bid'ah atau kekufuran maka ia telah menyiapkan diri untuk mendapatkan kemarahan dan kemurkaan Allah." Abu Waqid Radhiallaahu 'anhu meriwayatkan: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam saat keluar menuju perang Khaibar, beliau melewati sebuah pohon milik orang-orang musyrik, yang disebut dengan Dzaatu Anwaath, biasanya mereka menggantungkan senjata-senjata mereka di pohon tersebut. Para sahabat Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam berkata, "Wahai Rasulullah, buatkan untuk kami Dzaatu Anwaath, sebagaimana mereka mempunyai Dzaatu Anwaath." Maka Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, " Maha Suci Allah, ini seperti yang diucapkan kaum Nabi Musa, 'Buatkan untuk kami tuhan sebagaimana mereka mempunyai tuhan-tuhan.' Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, sungguh kalian akan mengikuti kebiasaan orang-orang yang ada sebelum kalian." (HR. At-Tirmidzi, ia berkata, hasan shahih). Adalah wajib bagi setiap orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat untuk melaksanakan wala' dan bara' ( loyalitas kepada muslimin dan berlepas diri dari golongan kafir) yang merupakan dasar akidah yang dipegang oleh para salaf shalih. Yaitu mencintai orang-orang mu'min dan membenci orang-orang kafir serta menyelisihi mereka dalam ibadah dan perilaku. Serta mengetahui bahwa sikap seperti ini di dalamnya terdapat kemas-lahatan yang tidak terhingga, sebaliknya gaya hidup yang menyerupai orang kafir justru mengandung kerusakan yang lebih banyak. Lain dari itu, mengekornya kaum muslimin terhadap gaya hidup mereka akan membuat mereka senang, lagi pula, menyerupai kaum kafir dapat melahirkan kecintaan dan keterikatan hati. Allah Subhaanahu wa Ta'ala telah berfirman, yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim ." (Al-Maidah:51) "Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya." (Al-Mujadilah: 22) "Dan janganlah belas kasihan kepada kedua pezina tersebut mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akherat." (An-Nur: 2) Di antara dampak buruk menyerupai mereka adalah: ikut mempopulerkan ritual-ritual mereka sehingga terhapuslah As-Sunnah (tuntunan Allah dan Rasul-Nya). Tidak ada suatu bid'ah pun yang dihidupkan kecuali saat itu ada suatu sunnah yang ditinggalkan. Dampak buruk lainnya, bahwa dengan mengikuti mereka berarti memperbanyak jumlah mereka, mendukung dan mengikuti agama mereka, padahal seorang muslim dalam setiap raka'at shalatnya membaca,"Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pu-la jalan) mereka yang sesat." (Al-Fatihah:6-7) Bagaimana bisa ia memohon kepada Allah agar ditunjukkan kepadanya jalan orang-orang yang mukmin dan dijauhkan darinya jalan golongan mereka yang sesat dan dimurkai, namun ia sendiri malah menempuh jalan sesat itu dengan sukarela. Ada seorang gadis mengatakan, bahwa ia tidak mengikuti keyakinan mereka, hanya saja hari Valentine tersebut secara khusus memberikan makna cinta dan suka citanya kepada orang-orang yang mempe-ringatinya. Ini adalah suatu kelalaian, padahal sekali lagi perayaan ini adalah dari ritual agama lain! Hadiah yang diberikan sebagai ung-kapan cinta adalah sesuatu yang baik, namun bila dikaitkan dengan pesta-pesta ritual agama lain dan tradisi-tradisi Barat, akan mengakibatkan terobsesi oleh budaya dan gaya hidup mereka. Mengadakan pesta pada hari tersebut bukanlah sesuatu yang sepele, tapi lebih mencerminkan pengadopsian nilai-nilai Barat yang tidak memandang batasan normatif dalam pergaulan antara pria dan wanita sehingga saat ini kita lihat struktur sosial mereka menjadi porak-poranda. Alhamdulillah, kita mempunyai pengganti yang jauh lebih baik dari itu semua, sehingga kita tidak perlu meniru dan menyerupai mereka. Di antaranya, bahwa dalam pandangan kita, seorang ibu mempunyai kedudukan yang agung, kita bisa mempersembahkan ketulusan dan cinta itu kepadanya dari waktu ke waktu, demikian pula untuk ayah, saudara, suami ・st, tapi hal itu tidak kita lakukan khusus pada saat yang dirayakan oleh orang-orang kafir. Semoga Allah senantiasa menjadikan hidup kita penuh dengan kecintaan dan kasih sayang yang tulus, yang menjadi jembatan untuk masuk ke dalam Surga yang hamparannya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa. Semoga Allah menjadikan kita termasuk dalam golongan orang-orang yang disebutkan: " Kecintaan-Ku adalah bagi mereka yang saling mencintai karena Aku, yang saling mengunjungi karena Aku dan yang saling berkorban karena Aku."
(Al-Hadits). FATWA SYAIKH AL-UTSAIMIN : Pertanyaan : Pada akhir-akhir ini ini telah tersebar dan membudaya perayaan hari Valentine 釦erutama di kalangan pelajar putri, padahal ia merupakan salah satu dari sekian macam hari raya kaum Nashrani. Biasanya pakaian yang dikenakan berwarna merah lengkap dengan sepatu, dan mereka saling tukar mawar merah. Bagaimana hukum merayakan hari Valentine ini, dan apa pula saran dan anjuran anda kepada kaum muslimin. Semoga Allah selalu memelihara dan melindungi anda. Jawab: Assalamu 'alaikum wr. wb. Merayakan hari Valentine itu tidak boleh, karena: Pertama: ia merupakan hari raya bid'ah yang tidak ada dasar hukumnya di dalam syari'at Islam. Kedua : ia dapat menyebabkan hati sibuk dengan perkara-perkara rendahan seperti ini yang sangat bertentangan dengan petunjuk para salaf shalih (pendahulu kita) ・semoga Allah meridhai mereka. Maka tidak halal melakukan ritual hari raya, baik dalam bentuk makan-makan, minum-minum, berpakaian, saling tukar hadiah ataupun lainnya. Hendaknya setiap muslim merasa bangga dengan agamanya, tidak menjadi orang yang tidak mempunyai pegangan dan ikut-ikutan. Semoga Allah melindungi kaum muslimin dari segala fitnah (ujian hidup), yang tampak ataupun yang tersembunyi dan semoga meliputi kita semua dengan bimbingan-Nya.
Read More ..

Selasa, Mei 26, 2009

MAQILA PESTA
Read More ..

Minggu, Mei 24, 2009

HUKUM EMAS YANG MELINGKAR BAGI WANITA

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Bagian Pertama dari Dua Tulisan [1/2]

Pertanyaan.

Samahah As Syaikh 'Abdul 'Aziz bin Baaz ditanya : Sesungguhnya sebagian wanita di sekitar kami merasa bimbang dan ragu terhadap fatwa Al 'Alamah Muhammad Nashiruddin Al Albani, seorang muhadits dari negeri Syam dalam kitab Adabuz Zifaf, seputar pengharaman pemakaian (perhiasan) melingkar secara umum. Disana (dijelaskan), para wanita dilarang memakainya dan menyifatkan wanita-wanita yang memakai (perhiasan) emas melingkar dengan (sebutan) sesat dan menyesatkan. Maka, bagaimanakah pendapat anda tentang hukum memakai emas melingkar secara khusus? Hal ini, karena kami sangat membutuhkan dalil dan fatwa anda, setelah masalah ini menjadi semakin serius. Semoga Allah mengampunimu dan semoga Allah menambahkanmu keluasan ilmu pengetahuan.

Jawaban.

Dihalalkan bagi wanita memakai (perhiasan) emas, baik yang melingkar maupun tidak melingkar, berdasarkan keumuman firman Allah :

"Dan Apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang dia tidak dapat memberi alasan yang terang dalam pertengkaran. [Az Zuhruf : 18]

Allah Subhanahu Wata'ala menyebutkan, bahwa hilyah (perhiasan) termasuk diantara sifat-sifat wanita dan perhiasan tersebut secara umum, baik perhiasan emas atau lainnya. Dan berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud dan An Nasa'i dengan sanad yang baik (Jayyid), dari Amirul Mu'minin Ali bin Abi Thalib radiayallahu 'anh, bahwa Nabi Sallallahu 'Alaihi wassalam, mengambil sutera, kemudian di letakkan di tangan kanannya dan mengambil emas, kemudian di letakkan di tangan kirinya, lalu beliau bersabda, " Sesungguhnya kedua benda ini (sutera dan emas) diharamkan bagi laki-laki dari umatku."

Ibnu Majah menambahkan dalam riwayatnya :

"Halal bagi perempuan mereka"

Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, An Nasa'i dan At Tarmidzi, dishahihkan olehnya. Dan dikeluarkan juga oleh Abu Daud dan Hakim, dan di shahihkan olehnya. Di keluarkan oleh AthThabrani dan dishahihkan oleh Ibnu Hazm, dari Abu Musa Al Asy'ari radiallahu'anh, bahwa nabi sallallahu 'alaihi wassalam bersabda.

"Emas dan sutera dihalalkan bagi orang-orang perempuan umatku dan diharamkan bagi laki-lakinya"

Hadits tersebut di nyatakan cacat dengan al inqitha' (terputus sanadnya) antara Sa'id bin Abu Hindun dengan Abu Musa (Al Asy'ari). Akan tetapi tidak ada dalil yang dapat dipercaya tentang kecacatannya itu, dan kami sudah menyebutkan ulama-ulama yang telah menshahihkannya. Jika pun diharuskan benarnya kecacatan yang disebutkan tadi (terputus sanadnya), maka hadits ini naik derajatnya dengan hadits-hadits lainnya yang shahih, sebagaimana hal tersebut merupakan kaidah yang dikenal di kalangan imam-imam hadits.

Berdasarkan ini ulama salaf berjalan, dan lebih dari seorang telah menukil ijma' (kesepakatan) tentang bolehnya wanita memakai perhiasan emas. Kami sebutkan perkataan sebagian ulama Salaf sebagai tambahan penjelas (masalah ini).

Al Jashash berkata dalam tafsirnya, jus II hal.388, berkaitan pernyataannya tentang emas. "Hadits-hadits yang datang tentang di bolehkannya emas bagi wanita dari nabi sallallahu 'alaihi wassalam dan para sahabat lebih jelas dan lebih masyhur, dibanding dengan hadits yang melarang. Dan dalam pendalilan (penunjukan) ayat (yang dimaksud dengan ayat, ialah ayat yang kami sebutkan tadi , surat Az Zuhruf : 18, pent). Juga jelas tentang bolehnya perhiasan emas bagi wanita. Pemakaian perhiasan bagi wanita telah tersebar luas sejak zaman nabi Sallallahu 'alaihi wassalam dan sahabat sampai pada zaman kita ini, tanpa seorang pun yang mengingkari mereka (wanita-wanita yang memakai emas). Demikian pula tidak bisa di ingkari (dipertentangkan) dengan khabar-khabar ahad."

Al Kayaa Al Harasi berkata dalam tafsir Al Qur'an juz IV hal. 391, dalam menafsirkan firman Allah Subhanahu Wata'ala,

"Dan Apakah patut (menjadi anak Allah) orang (anak perempuan) yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan ......[Az Zuhruf : 18]

Dalam ayat ini terdapat dalil bolehnya perhiasan bagi wanita dan ijma' (kesepakatan) terbangun kuat atas bolehnya, serta khabar-khabar (hadits-hadits) tentang hal ini tidak terhitung (banyaknya)".

Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra, juz IV hal.142, setelah menyebutkan sebagian hadits-hadits yang menunjukkan bolehnya emas dan sutera bagi kaum wanita tanpa terperinci, berkata : " Khabar-khabar (hadist-hadits) ini dan hadits yang semakna dengannya, menunjukkan bolehnya berhias dengan emas bagi para wanita. Dan kami memperoleh petunjuk (dalil) dengan didapatkannya ijma' tentang bolehnya perhiasan emas bagi wanita dan terhapusnya (hukum) khabat-khabar yang menunjukkan haramnya perhiasan emas bagi wanita secara khusus".

An Nawawi berkata dalam Al Majmu' Juz IV hal.424, "Diperbolehkan bagi wanita memakai sutra serta berhias dengan perak dan emas dengan ijma' (kesepakatan) berdasarkan hadits-hadits yang shahih", Beliau juga berkata pada juz VI hal.40 (Pada kitab yang sama-pent), "Kaum muslimin telah bersepakat tentang diperbolehkan bagi wanita memakai beraneka ragam perhiasan dari perak dan emas semuanya. Seperti: Kalung, cincin, gelang tangan,, gelang kaki, dan semua perhiasan yang di pakai di leher dan selainnya, serta semua perhiasan yang biasa di pakai para wanita. Dalam hal ini, tidak ada perselisihan sedikitpun."

Imam An Nawawi RahimaHUllah, berkata dalam Syarah Shahih Muslim, Bab : Diharamkan Cincin Emas Bagi Laki-Laki dan terhapusnya (hukum) diperbolehkannya pada permulaan islam," Kaum Muslimin telah bersepakat bolehnya cincin emas bagi wanita".

[Disalin dari majalah As-Sunnah edisi 12/VI/1423H/2003M] diambil dari www.almanhaj.or.id Read More ..

HUKUM BERJABAT TANGAN DENGAN WANITA TUA

Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan.

Bagaimana hukum berjabat tangan dengan wanita ajnabiyah jika sudah lanjut usia? Bagaimana pula jika wanita tersebut meletakkan kain atau semisalnya sebagai penyekat telapak tangannya ?

JawabanSeorang pria dilarang secara mutlak berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram, baik yang masih muda maupun sudah tua, baik yang menjabat tangannya adalah seorang pemuda maupun kakek tua, karena tindakan itu bisa menimbulkan fitnah bagi keduanya.

Selain itu, ada sebuah hadits shahih yang menyatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Sesungguhnya, aku tidak berjabat tangan dengan wanita".

Aisyah Radhiallahu anha berkata :

"Artinya : Demi Allah, tangan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah menyentuh tangan wanita. Beliau tidak membai'at kaum wanita, kecuali dengan ucapan".

Tidak ada perbedaan, apakah wanita itu berjabat tangan dengan memakai penutup ataukah tanpa penutup, dikarenakan keumuman dalil-dalil tersebut dan untuk menutup pintu-pintu yang menjerumuskan kepada fitnah.

Wallahu Waliyyut Taufik

[Fatwa-Fatwa Tentang Memandang, Berkhalwat, hal. 23-24, terbitan At-Tibyan] Read More ..

APAKAH SHALATNYA SEORANG WANITA DI RUMAH LEBIH UTAMA ATAUKAH DI MASJIDIL HARAM

Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah shalatnya seorang wanita di rumah lebih utama ataukah di Masjidil haram ?

Jawaban
Shalat sunnah di rumah adalah lebih utama baik bagi kaum pria ataupun bagi kaum wanita, berdasarkan keumuman sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Sebaik-baik shalat seseorang adalah di rumahnya kecuali shalat-shalat fardhu"
Karena itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melaksanakan shalat-shalat sunnah di rumahnya, padahal beliau sendiri bersabda :
"Artinya : Shalat di masjidku ini lebih baik dari seribu shalat di tempat-tempat lain kecuali Masjidil Haram"
Berdasarkan sabda ini maka kami katakan : Jika telah dikumandangkan adzan Zhuhur, sementara saat itu Abda sedang ada di rumah Anda, yang mana Anda berdomisili di Mekkah, dan Anda hendak melakukan shalat Zhuhur di Masjidil Haram, maka yang paling utama Anda lakukan adalah hendaknya Anda melaksanakan shalat Rawatib Zhuhur di rumah Anda kemudian Anda datang ke Masjidil Haram untuk melaksanakan shalat Zhuhur dan sebelumnya Anda melaksanakan shalat Tahiyatul Masjid. Sebagian ulama berpendapat bahwa berlipat gandanya pahala shalat di ketiga masjid ini adalah khusus pada shalat-shalat fardhu, karena shalat fardhu inilah yang hendaknya dilaksanakan di masjid-masjid itu, adapun shalat sunnah maka pahalanya tidak dilipat gandakan. Namun pendapat yang benar adalah bahwa berlipat gandanya pahala adalah bersifat umum, yaitu untuk semua shalat baik shalat fardhu maupun shalat sunnat, hanya saja shalat sunnat di Masjidil Haram atau Masjid Nabawi atau Masjid Al-Aqsha tidak berarti lebih baik jika dibanding dengan di rumah, bahkan shalat sunat yang dilakukan di rumah adalah lebih utama. Akan tetapi jika seseorang masuk ke dalam Masjidil Haram lalu ia melaksanakan shalat Tahiyatul Masjid di Masjidil Haram. maka itu lebih baik seratus ribu kali kebaikan dari pada shalat Tahiyatul Masjid di masjid-masjid lainnya, dan shalat Tahiyatul Masjid di Masjid Nabawi lebih baik dari seribu shalat tahiyatul masjid di masjid-masjid lainnya. Begitu juga jika Anda datang dan masuk ke dalam Masjidil Haram lalu Anda melaksanakan shalat Tahiyatul Masjid, kemudian untuk menanti tiba waktunya shalat fardhu Anda melaksanakan shalat sunah, maka sesungguhnya shalat sunah itu lebih baik dari seratus ribu shalat sunah serupa dari pada di masjid-masjid lainnya.
Masih ada pertanyaan lain sehubungan dengan hal tadi, yaitu tentang shalat malam (shalat tarawih pada bulan ramadhan), apakah bagi wanita lebih utama melaksanakannya di Masjidil Haram atau di rumah .?

Jawabannya adalah : Untuk shalat-shalat fardhu, maka lebih utama dilaksanakan di rumah, sebab sehubungan dengan shalat fardhu bagi kaum wanita, maka Masjidil Haram seperti masjid-maasjid lainnya. Adapun shalat malam Ramadhan, sebagian ahli ilmi mengatakan : Bahwa yang lebih utama bagi kaum wanita adalah melaksanakan shalat malam di masjid-masjid, berdasarkan dalil bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengumpulkan keluarga serta mengimami mereka dalam melaksanakan shalat malam du bulan Ramadhan, dan berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Umar Radhiyallahu 'anhu dari Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu 'anhu, bahwa kedua sahabat Rasulullah ini memerintahkan seorang pria untuk mengimami shalat kaum wanita di masjid dan dalam masalah in saya belum bisa memastikan karena dua atsar yang diriwayatkan dari Umar dan Utsaman itu lemah sehingga tidak bisa diajdikan hujjah, begitu juga yang menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengumpulkan keluarganya tidak menjelaskan bahwa beliau mengumpulkan mereka di masjid untuk shalat berjama'ahg. Dan saya belum bisa memastikan, manakah yang lebih utama bagi seorang wanita, melaksanakan shalat tarawih di rumahnya atau di Masjidil Haram ? Dan yang lebih utama baginya adalah shalat di rumahnya, kecuali jika ada nash yang menyebutkan dengan jelas bahwa shalatnya di Masjidil Haram adalah lebih utama. Akan tetapi jika ia datang ke Masjidil Haram maka diharapkan mendapatkan pahala sebagaimana yang disabdakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Shalat di Masjidil Haram sama dengan seratus ribu shalat (di masjid-masjid lain)"
Namun jika kehadirannya dapat menimbulkan fitnah, maka tidak diragukan lagi bahwa shalat di rumahnya adalah lebih utama.

[Durus wa Fatawa Al-Haram Al-Makki, Syaikh Ibnu Utsaimin, 3/228]
Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq hal.140-142, penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin Read More ..

aturan melihat wanita tunangan

"ANJURAN MELIHAT WANITA PINANGAN"

Hadits No. 95

"Artinya : Lihatlah ia, sebab pada wanita Anshar terdapat sesuatu, yakni sipit".

Hadits ini ditakhrij oleh Imam Muslim di dalam kitab Shahih-nya (4/142), Sa'id bin Manshur di dalam kitab Sunan-nya (523), An-Nasa'i (2/73), Ath-Thahawi di dalam Syarh Al-Ma'ani (2/8) Ad-Daruquthni (hal.396) dan Al-Baihaqi (juz VII, hal.84) dari Abu Hazem, dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.

"Ada seseorang yang ingin mengawini wanita Anshar. Kemudian ia memberitahukan hal itu kepada Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda : (Kemudian ia menyebutkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam diatas). Rangkaian kalimat itu milik Ath-Thahawi, sedangkan redaksi yang dipakai oleh Imam Muslim dan Al-Baihaqi adalah :

"(Suatu ketika), saya bersama Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tiba-tiba ada seorang laki-laki yang menghadap beliau memberitahukan bahwa ia akan menikah dengan salah seorang wanita Anshar. Kemudian beliau memerintahkan kepadanya : "Lihatlah dahulu wanita itu". Ia menjawab : "Tidak, Rasul". Lalu beliau kembali memerintahkan : Lihatlah dahulu wanita itu .....".

Hadits No. 96

"Artinya : Lihatlah dahulu wanita itu, sebab akan lebih menjamin kelanggengan hidup kalian berdua".

Hadits itu ditakhrij oleh Sa'id bin Manshur di dalam kitab Sunan-nya (515-518), An-Nasa'i (2/73), At-Turmudzi (1/202), Ad-Darimi (2/134), Ibnu Majah (1866), Ath-Thahawi (2/8), Ibnu Al-Jarud di dalam Al-Muntaqa (hal 313), Ad-Daruquthni (hal.395) Al-Baihaqi (7/84), Imam Ahmad (4/144-245/246) dan Ibnu Asakir (17/44/2), dari Bakar bin Abdullah Al-Muzani, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyarankan : (Kemudian ia menyebut sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas). Imam Ahmad dan Al-Baihaqi menambahkan :

"Kemudian saya mendatangi wanita itu yang saat itu sedang ditemani oleh kedua orang tuanya". Al-Mughirah melanjutkan : "Lalu saya berkata :

"Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan saya untuk melihatnya". Masih melanjutkan kisahnya : Kedua orang tuanya masih terdiam. Lalu wanita itu menampakkan diri dari balik biliknya dan berkata :"Saya sengaja keluar menemuimu. Jika benar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kepadamu untuk melihatku, maka mengapa engkau tidak segera melihatku .? Tetapi jika beliau tidak memerintahkan hal itu kepadamu, maka janganlah engkau melihatku". Al-Mughirah mengakhiri penuturannya :

"Kemudian saya melihatnya dan akhirnya menikah dengannya. Sejak itu tidak ada lagi wanita selain dia yang mendapingiku. Padahal sebelumnya saya telah menikah dengan lebih dari tujuh puluh wanita, tetapi semuanya gagal".

Imam Tirmidzi menilai : "Sanad itu hasan".

Saya berpendapat : Semua perawi hadits itu tsiqah, hanya saja, Yahya Ibnu Ma'in menyatakan :"Bakar tidak mendengar langsung dari Al-Mughirah bin Syu'bah".

.... dan seterusnya......


Itulah yang bisa disalin untuk ml assunnah.

Saya ringkaskan saja mengenai Mahar ini, dari kitab Al-Insyirah Fi Aadaabin Nikah, edisi Indonesia Bekal-Bekal Menuju Pernikahan oleh Abu Ishaq Al-Huwaini Al-Atsari.

SIKAP SEORANG WALI

[*] Seorang wali hendaknya memperhatikan hal-hal berikut.

PERTAMA.

Memilih lelaki yang shalih dan bertakwa bagi anak gadisnya. Sebab lelaki seperti itu bila ternyata mencintai anak gadisnya tentu memuliakannya, jika membencinya tidaklah menghinakannya.

Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. "Artinya : Jika datang melamar anak gadismu seorang lelaki yang engkau ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia (dengan anak gaismu itu. Jika tidak, pasti akan terjadi fitnah (kekacauan) di muka bumi dan kerusakan yang besar" [1]

KEDUA.

Tidak mempermahal MAHAR

Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Di antara keberkahan seorang wanita ialah yang mudah urusannya dan murah maharnya" [2]

Dipertegas lagi dengan ucapan Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu.

"Ketauhillah, janganlah berlebih-lebihan dalam menetapkan mahar para wanita. Karena sesungguhnya jika (mahar yang mahal) itu dimasudkan sebagai bukti kemuliaan di dunia atau sebagai sarana bertakwa kepada Allah, maka orang yang paling bertakwa di antara kami adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, namun beliau tidak pernah menetapkan mahar kepada seorangpun diantara istri-istrinya begitu pula kepada pautri-putrinya melebihi 12 uqiyah (1 uqiyah = 40 dirham). Sesungguhnya bila seorang lelaki dikenakan tarif mahar yang tinggi, niscaya dapat menimbulkan rasa permusuhan dalam dirinya kepada istrinya" [3]

PERHATIAN !!

Sesungguhnya telah tersebar luas di kalangan umat bahwa dahulu pernah ada seorang wanita yang memprotes Umar Radhiyallahu 'anhu berkaitan dalam masalah mahar. Lalu Umar berkata : "Wanita itu benar dan Umar salah" [4]

Cerita ini jelas tidak shahih, kecuali ada seekor unta bisa masuk ke lubang jarum (sangat mustahil). Andai kata hadits-hadits shahih dapat tertanam dalam benak manusia sebagaimana tertanamnya hikayat-hikayat semacam ini (tentu akan sangat baik). Namun bagaimana mungkin hal itu dapat terjadi jika orang-orang yang memimpin pusat-pusat kajian ilmiah tidak bisa dan tidak mampu membedakan antara riwayat-riwayat yang shahih dengan riwayat-riwayat yang dhaif (lemah). Hanya Allah-lah tempat meminta pertolongan dari segala musibah (kejahilan) ini.


Foote Note.

[1] Hadits Hasan riwayat At-Tirmidzi (IV/204 lihat Tuhfatul Ahwadzi), Ibnu Majah (I/606-607), At-Thabrani dalam Al-Ausath (II/27), Al-Hakim (II/164-165) Al-Khatib dalam Al-Tarikh (XI/61) dari jalur Abdul Hamid bin Sulaiman ...dst]

[2] Hadits Shahih riwayat Abu Dawud (VI/77&91), Ibnu Hibban (1256), Al-Bazzar (III/158) At-Thabrani dalam Muja'mus Shagir (I/169), Al-Hakim (II/181), Al-Baihaqi (VII/235) dari jalur Ibnul Mubarak dari Usamah bin Zaid dari ....dst]

[3] Hadits Shahih riwayat Abu Daud (VI/135, silakan lihat Aunul Ma'bud), An-Nasa'i (VI/117), At-Tirmidzi (IV/255 lihat Tug=hfatul Ahwadzi) beliau berkata Hasan Shahih, Ibnu Majah (I/582-583), Ad-Darimi (III/65), Ahmad (I/40 & 48), Al-Humeidi (I/13-15), Abdurrazzaq (no. 10399 & 10400) Ibnu Hibban (1259), Al-Hakim (II/175, Al-Baihaqi (VII/234) dari jalur Muhammad bin Sirin dari ...dst]

[4] Hadits Riwaayt Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf (no. 10420), Az-Zubair bin Bakkar dan Sa'id bin Manshur (597), Abu Ya'la dan Al-Baihaqi (VII/233) ia berkata : "Sanadnya terputus, dan tidak terlepas dari cacat yang merusak keshahihan hadits, berupa keterputusan sanad dan kelemahan yang sangat.

Wallahu Al-Musta'an

Untuk lebih lengkapnya bacalah buku tersebut diatas.

[Bekal-Bekal Menuju Pelaminan, hal 47-53 Pustaka At-Tibyan]


Disalin jawabannya oleh : Abu Abdullah" abdullah_abu@hotmail.com

Mahar adalah hak murni wanita, dan dalam perkawinan harus ada pemberian harta dari pihak laki-laki terhadap wanita sebagai mahar, adapun jenis dan kadar mahar berbeda-beda sesuai dengan kemampuan, dalam suatu riwayat disebutkan. " Abdurrahman bin Auf pergi berjualan ke pasar dan mendapat untung. Pada hari berikutnya ia pulang ke rumah membawa susu dan samin untuk keluarganya. Beberapa hari kemudian ia membawa lagi minyak za'faran yang semerbak bau wanginya. Rasulullah Shallallahu'alahi wa sallam menegur, 'Apa yang telah terjadi ?'. Ia menjawab, 'Ya, Rasulullah, saya telah kawin dengan wanita Anshar'. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya lagi, 'Apa maharnya ?' Ia menjawab, 'Emas seharga lima dirham' [1].

Dan dalam suatu riwayat lain, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada laki-laki yang meminang wanita (ia pernah menawarkan dirinya untuk dinikahi Rasulullah). "Carilah (mahar) walaupun berupa cincin besi".

Untuk lebih jelasnya, akan saya salinkan contoh-contoh bentuk atau kadar mahar dalam proses pernikahan, dan keumuman di kalangan kita mahar itu lebih sering disebut dengan 'maskawin', dikarenakan keumuman mahar yang sering diberikan adalah sesuatu yang terbuat dari emas, seperti cincin, gelang atau kalung, sehingga disebutlah 'maskawin yang artinya emas untuk kawin', akan tetapi istilah 'maskawin' untuk sekarang ini menjadi salah kaprah, disebabkan banyak orang yang memberikan 'maskawin' berupa seperangkat alat untuk shalat atau berupa uang, sehingga arti dan maksud 'maskawin' menjadi tidak relevan dan tidak nyambung lagi. Untuk itu, seyogiyanya kita yang sudah paham mengembalikan istilah 'maskawin' kepada nama yang sebenarnya yaitu 'Mahar'.

Kembali kepada masalah contoh mahar, akan saya salinkan secara ringkas kutipan dari kitab Al-Insyirah Fi Aadaabin Nikah, edisi Indonesia Bekal-Bekal Menuju Pernikahan oleh Syaikh Abu Ishaq Al-Huwaini Al-Atsari.

Sabda Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam.

"Artinya : Diantara keberkahan seorang wanita ialah yang mudah urusannya dan murah maharnya" [Hadits Shahih Riwayat Abu Dawud VI/77&91, Ibnu Hibban 1256, Al-Bazar III/158, Ath-Thabrani dalam Mu'jamus Shaghir I/169 dst...]

Dipertegas lagi dengan ucapan Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu. "Ketahuilah janganlah berlebih-lebihan dalam menetapkan mahar para wanita. Karena sesungguhnya jika (mahar yang mahal) itu dimaksudkan sebagai bukti kemuliaan di dunia atau sebagai sarana bertakwa kepada Allah, maka orang yang paling bertakwa di antara kamu adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, namun beliau tidak pernah menetapkan mahar kepada seorangpun di antara istri-istrinya begitu pula kepada putri-putrinya melebihi 12 Uqiyah (1 uqiyah = 40 dirham). Sesunggunya bila seorang lelaki dikenakan tariff mahar yang tinggi, niscaya dapat menimbulkan permusuhan dalam dirinya kepada istrinya" [Hadits Shahih riwayat Abu Dawud VI/135, (silakan lihat 'Aunul Ma'bud), An-Nasa'i VI/117, At-Timidzi IV/255 (lihat Tuhfatul Ahwadzi) beliau berkata : 'Hasan Shahih' dst...]

Kemudian untuk memperluas contoh bentuk mahar, saya tambahkan juga penjelasan dan fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz yang diambil dari kitab Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita.

WANITA MENIKAH TANPA MAHAR

Pertanyaan.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : "Apakah boleh seseorang ikhlas menikahkan putrinya karena Allah sehingga tidak meminta mahar dan calon suami ?".

Jawaban.

Dalam pernikahan harus ada pemberian harta sebagai mahar berdasarkan firman Allah.

"Artinya : Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian yaitu mencari istri-istri dengan hartamu untuk diakawini bukan untuk berzina" [An-Nisa : 24]

Dan dalam sebuah hadits bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada laki-laki yang meminang wanita (ia pernah menawarkan dirinya untuk dinikahi Rasulullah).

"Artinya : Carilah (mahar) walaupun berupa cincin besi".

Barangsiapa yang menikah tanpa mahar, maka wanita mempunyai hak untuk menuntut kepada suami mahar mitsil. Mahar pernikahan boleh berupa mengajar Al-Qur'an, hadits-hadits atau ilmu-ilmu yang bermanfaat. Sebab tatkala seseorang yang tidak mempunyai harta untuk dijadikan mahar, maka Rasulullah menyuruhnya agar memberi mahar dengan mengajarkan Al-Qur'an kepada calon istri dengan suka rela, maka calon suami gugur dari kewahiban membayar mahar tersebut.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu nikah) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mahar itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya" [An-Nisa : 4]

[Fatawa Dakwah Syaikh Bin Baz, juz 2 hal. 120]


Foote Note

[1] Adab pernikahan dalam islam


"Silsilah Hadits Shahih Buku I (1-250) oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah, Fasal : "Anjuran Melihat Wanita Pinangan" hal. 218-228. terbitan Pustaka Mantiq dengan Penerjemah Drs. HM Qodirun Nur. Read More ..