Jumat, Maret 04, 2011

Dua Kerusakan Akibat Kejahatan Lidah (2)

Etika Berbicara

Karena begitu pentingnya menjaga mulut agar tidak jatuh kepada kebatilan maka, mengetahui adab dalam berbicara adalah keharusan – untuk diamalkan. Sebab kebikan seseorang itu dalam berbicara menunjukkan keilmuan dan keimanannya.

Pertama, di antaranya sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW bahwa jika seseorang berbicara, Rasulullah SAW selalu menghadapkan wajah dan tubuhnya ke arah orang yang bicara tersebut. Mendengarkan dengan seksama, tidak memotong pembicaraannya kecuali orang itu yang menghentikan sendiri.

Kedua, jangan tergesa-gesa mengeluarkan kata-kata atau statemen sebelum dipikirkan dan diyakini benarnya. Pikirkanlah terlebih dahulu kata-kata kita dan pikirkan juga apa kira-kira yang akan terjadi seandainya kita tidak membicarakannnya.

Ketiga, pilihkan kata-kata yang kita ucapkan itu dengan pilihan kata yang baik-baik. Hindarkan kosa kata yang buruk dan menyesatkan.

Keempat, ketika berbicara – terutama kepada orang yang lebih tua, guru atau berilmu – hendaknya dengan nada tawadlu’. Jangan tampakkan gaya bicara orang yang sok tahu atau apapun yang menunjukkan kesombongan. Jangan pula bernada mengejek, memandang rendah, menunjukkan ego maupun kelebihan diri kita atau menghasut sesama tema, sebab itu semua menyebabkan pudarnya ukhuwah.

Kelima, jika pembicaraan kita tidak memerlukan penjelasan yang melebar, maka hendaknya perkataan kita ringkas namun mengenai sasaran. Usahakan meringkas kata-kata baik yang perlu disampaikan. Jika penjelasan itu tidak memerlukan keterangan panjang, jangan sampai malah berpanjang lebar sehingga justru akan membuat bosan orang atau malah membingungkan.

Keenam, jika kita dihadapkan dengan orang banyak, maka hadapkanlah pandangan kita secara merata ke semua pendengar. Jangan hanya menatap pada satu orang saja atau sebagaian di antara mereka.

Berkenaan dengan itu semua kita perlu simak hadis Rasulullah SAW yang berbunyi: “Kebanyakan kesalahan manusia ialah terletak pada lidahnya.” (HR Thabrani).
Bagaimanapun, lidah adalah kunci kebaikan sekaligus penyulut kerusakan, maka jangan main-main dengannya!
*/Kholili Hasib/hidayatullah.com
Read More ..

Kerusakan Akibat Kejahatan Lidah (1)

Suatu hari seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW seraya berkata, “Ya Rasulullah! Sungguh si fulanah itu terkenal banyak shalat, puasa, dan sedekahnya. Akan tetapi juga terkenal jahat lidahnya terhadap tetangga-tetangganya.”. Maka berkatalah Rasulullah SAW kepadanya, “Sungguh ia termasuk ahli neraka”.

Kemudian laki-laki itu berkata lagi, “Kalau si fulanah yang satu lagi terkenal sedikit shalat, puasa dan sedekahnya, akan tetapi ia tidak pernah menyakiti tetangganya.” Maka Rasulullah SAW berkata, “Sungguh ia termasuk ahli surga.” (HR.Muslim).

Kisah dalam hadis tersebut memberi pelajaran akan bahaya lidah. Betapa jika tidak dikontrol iman, lidah bisa menjerumuskan ke dalam neraka. Meskipun seseorang itu ahli ibadah, banyak shalat, puasa, akan tetapi bila tidak mampu menjaga lidahnya dari memfitnah, berbohong dan hasud – amalannya tersebut sia-sia.

Oleh sebab itu, lidah bisa menjadi media taat kepada Allah, dan bisa pula untuk memuaskan hawa nafsu. Lidah bisa digunakan untuk membaca al-Qur’an, hadis dan menasihati, lidah juga berubah seperti layaknya penyulut api. Memfitnah,bersaksi palsu, ghibah, namimah, dan memecah belah umat. Jika seperti ini seberapa banyak pun ibadah kita tak ada gunanya, semuanya gugur gara-gara lidah yang terselip.

Rasulullah SAW memperingatkan, bahwa bahaya lidah adalah salah satu perkara yang paling beliau khawatirkan. Sebabnya, semua amal akan berguguran jika lidah kita jahat. Suatu kali salah seorang sahabat Sufyan al-Tsaqafi bertanya kepada Rasulullah SAW: “Wahai Rasulullah, katakan kepadaku dengan satu perkara yang aku akan berpegang dengannya!" Beliau menjawab: "Katakanlah, `Rabbku adalah Allah`, lalu istiqomahlah". Aku berkata: "Wahai Rasulullah, apakah yang paling anda khawatirkan atasku?". Beliau memegang lidah beliau sendiri, lalu bersabda: “Ini." (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Dua Kerusakan

Bentuk kejahatan lidah itu ada dua. Yaitu, lidah yang banyak bicara kebatilan dan lidah yang diam terhadap kebatilan. Kejahatan lidah memang bisa setajam pedang. Jika kita tidak hati-hati menggunakannya, maka ketajamannya bisa menumpahkan darah, sebagaimana pedang menusuk tubuh manusia. Bisa pula lidah itu membiarkan ‘api’ yang membakar semakin besar.
Maka, ada dua bahaya besar yang bisa menimpa lidah kita. Bisa karena banyak bicara yang tidak perlu dan menyesatkan atau diam terhadap kebenaran. Dua-duanya adalah sumber kerusakan.

Imam Abu 'Ali ad-Daqqaq pernah mengatakan: "Orang yang berbicara dengan kebatilan adalah setan yang berbicara, sedangkan orang yang diam dari kebenaran adalah setan yang bisu."
Gara-gara lidah, seseorang tergiring masuk neraka. Menjadi hamba yang merugi, sebab pahala orang yang berdosa karena kerusakan lidah akan dihadiahkan kepada orang yang didzalimi. Gara-gara lidah yang jahat kita bisa menjadi hamba yang bangkrut (muflis).

Rasulullah SAW bersabda: “Orang yang bangkrut di kalangan umatku adalah orang yang pada hari kiamat nanti datang membawa pahala shalat, zakat dan puasa, namun di samping itu ia membawa dosa mencela, memaki, menuduh zina, memakan harta dengan cara yang tidak benar, menumpahkan darah, dan memukul orang lain.” (HR.Muslim)

Bahaya pertama adalah tersebarnya kebatilan agama yang diakibakan oleh lidah mengucapkan kata-kata yang batil ataupun banyak bicara pada hal-hal yang tidak bermanfaat. Kedua-duanya merusak masyarakat dan hubungan baik dengan orang lain.

Oleh sebab itu, jika kita tidak tahu terhadap suatu persoalan sebaiknya diam terlebih dahulu sebelum memperoleh jawaban dari ahlu dzikri (orang yang ahli). Jika tidak, kata-kita kita yang tidak berdasarkan ilmu itu bisa menyesatkan.

Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari Muslim).

Lebih baik diam jika dihadapkan terhadap persoalan yang belum kita ketahui. Akan tetapi, ingat tidak sekedar diam selamanya. Akan tetapi kita wajib mencari tahu jawaban yang belum kita ketahui. “Janganlah kamu bersikap terhadap sesuatu yang tidak kamu ketahui.” (QS al-Isra': 36).

Kita mesti bertanya kepada ahlinya terhadap suatu persoalan. Allah SWT memberi arahan: “Bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS an-Nahl: 43). Janganlah memberi fatwa, jika kita tidak tahu ilmunya, jangan pula menyebarkan informasi yang kita belum paham asal-usulnya. Sebab, ilmu adalah pondasi. Jika ilmu kita salah, maka akan gugurlah seluruh amal-ibadah kita.

“Sesungguhnya orang yang paling aku benci dan paling jauh dariku di akhirat nanti adalah orang yang paling jelek akhlaknya, orang yang banyak bicara, orang yang berbicara dengan mulut yang dibuat-buat dan orang yang sombong.” (Jami’ al-Shaghir).

Kerusakan ilmu juga diakibatkan oleh banyaknya perkataan batil yang bergulir. Banyak orang ahli bicara dan beretorika namun tidak berilmu. Karena tidak berdasarkan ilmu, maka pembicaraannya bisa menyesatkan, mencerai-beraikan ukhuwah, dan memecah silaturahmi.
Kerusakan yang kedua adalah kebenaran yang disembunyikan dan kebatilan yang dibiarkan. Ini akibat lidah yang diam terhadap kebatilan. Imam Ibn Hajar dalam kitab al-Shawa’iq al-Muhriqah mengatakan, orang yang dilaknat Allah adalah seorang berilmu (ulama’) yang mendiamkan terhadap bid’ah agama.

Dalam hadis tersebut di atas, Rasulullah SAW tidak sekedar memerintahkan untuk diam, akan tetapi hadis itu memberi pelajaran kita untk tidak berkata kecuali yang baik dan benar.

Kita tidak diperintah untuk terus menjadi ‘orang yang diam’. Orang yang terus-menerus diam adalah orang yang bodoh. Rasulullah SAW tidak mengajarkan itu. Sering kali kita mendengar keluhan saudara-saudara kita: “Saya masih awam belum tahu apa-apa”. Kata-kata ini terus ia ulang-ulangi. Islam tidak mengajarkan kita untuk terus menjadi awam.

Sebab, jika kita terus menjadi awam, maka kita akan terus menjadi orang yang ‘diam’. Padahal kita dituntut untuk mendakwahkan kebaikan, menyebarkan hikmah dan meluruskan kebatilan. Sufyan ats-Atsauri Rahimahullah berkata:“Ibadah yang pertama kali adalah diam, kemudian menuntut ilmu, mengamalkan, menghafal dan menyampaikannya.”

Jadi kerusakan agama itu bisa karena tersebarnya kebatilan yang digulirkan oleh mulut-mulut yang tak berilmu, bisa juga disebabkan didiamkannya kebatilan oleh orang yang berilmu.
* Kholili Hasib/hidayatullah.comRed: Cholis Akbar
Read More ..