Senin, Juli 19, 2010

Persepsi Salah Umat Islam tentang Zakat dan Sedekah

Zakat Merupakan rukun islam yang ketiga, tak seperti shalat ataupun puasa yang relatif umum di masyarakat, namun pemahaman masyarakat dalam memahami zakat masih sedikit dibawah shalat dan puasa. Dari pemahaman yang terkesan sekenanya itu timbullah beberapa persepsi yang salah yang tanpa disadari oleh masyarakat itu sendiri menjadi zakat terkesan sebagai ibadah yang tidak penting.

Ada tiga persoalan berhubungan dengan persepsi masyarakat umat Islam di sekitar pengertian zakat selama ini yang merupakan persepsi yang keliru dan harus diluruskan.

Pertama, zakat sebagai ketentuan terpisah dari ketentuan shalat.Persepsi salah bagi kebanyakan umat Islam yang keliru bahwa zakat merupakan ketentuan terpisah dengan shalat perlu diluruskan. Pelurusan persepsi ini sangat penting karena suatu persepsi sangat menentukan tingkah laku perbuatan terhadap sesuatu yang dipersepsinya, demikian juga persepsi umat Islam tentang zakat.

Sementara ini peresepsi umat Islam tentang zakat merupakan kewajiban terpisah dengan shalat, sehingga umat Islam pada umumnya hanya mementingkan shalat saja ,sementara dengan zakat hampir tidak diperdulikan oleh umat Islam. Berbeda apabila umat Islam bisa dirubah persepsinya tentang zakat sebagai kewajiban satu paket dengan shalat, maka perilaku umat Islam akan mementingkan zakat sebagaimana mereka mementingkan terhadap shalat. Jadi sangat penting meluruskan persepsi ini.

Perhatian Islam terhadap kaum yang miskin sangat besar sekali dan merupakan hal prinsipil. Untuk merealisasikan hal tersebut Islam menjadikan zakat menjadi pilar pokok ketiga setelah shalat, sebagaimana dapat disimak dalam sebuah hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim yang artinya : “ Islam dibangun di atas lima tiang pokok, yaitu kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad Rasulullah; mendirikan shalat; membayarkan zakat; berpuasa dalam bulan Ramadhan; dan naik haji bagi yang sanggup “. Di dalam Al-Qur’an dinyatakan oleh Allah setiap perintah shalat senantiasa diikuti dengan zakat. Hal ini tentu menunjukkan betapa eratnya hubungan antara keduanya. Bahkan Islam mempersyaratkan kepada orang yang masuk Islam dengan mengerjakan shalat dan membayar zakat. Lihat Al-Qur’an Surat At-Taubah ayat 5 dan 11 ).

Beberapa orang sahabat Nabi menyatakan tentang zakat sebagai berikut; Abdullah bin Abbas menyatakan ,” anda sekalian diperintahkan menegakkan shalat dan membayarkan zakat. Siapa yang tidak mengeluarkan zakat maka shalatnya tidak akan diterima”. Berikutnya Jabir bin zaid mengatakan, “ shalat dan zakat adalah kewajiban dalam satu paket, keduanya tidak terpisahkan. Allah tidak akan menerima shalat kecuali dibarengi dengan zakat”. Sahabat Abu Bakar ketika menjadi Khalifah mengatakan , “ Demi Allah, saya akan memerangi siapa yang memisahkan shalat dan zakat”.

Dari urain tersebut dapat difahami bahwa tanpa membayarkan zakat maka seseorang tidak dapat dianggap sebagai seorang yang beriman ( Al-Qur’an Surat Al-Mukminun ayat 1-4, dan Surat An-Naml ayat 2-3 ). Didalam Surat Lukman ayat 3-4 Allah lebih menegaskan bahwa tanpa membeyarkan zakat, seseorang itu tidak dapat masuk kedalam orang-orang yang berbuat baik dan orang-orang yang memperoleh petunjuk.. Demikian juga dalam surat Al-Baqarah ayat 177 dinyatakan bahwa orang yang tidak membayarkan zakat tidak dapat dikategorikan sebagai orang yang baik, jujur dan taqwa.

Kedua, nisab zakat sebagai ketentuan maksimal bukan minimal, Persepsi masyarakat tentang nisab zakat sebagai ketentuan maksimal seperti selama ini perlu dirumuskan kembali. Bagaimana masyarakat bisa mengubah persepsinya bahwa nisab zakat yang tertera dalam dalil-dalil al-Qur’an dan hadits adalah merupakan ketentuan minimal, sehingga dengan demikian masyarakat umat Islam bisa memiliki kesadaran memberikan zakatnya dengan berlomba-lomba memberikan sebanyak mungkin, karena menurut ajaran Islam berlomba-lomba dalam kebaikan adalah sangat dianjurkan ( Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 148 ).

Bisa dibayangkan, apabila masyarakat umat Islam bisa merubah persepsinya bahwa nisab zakat yang ditentukan oleh ajaran Islam itu sebagai ketentuan minimal bukan ketentuan maksimal, maka akan banyak sekali uang zakat yang bisa terkumpul. Di sisi lain secara psikologi sosial dapat difahami bahwa persepsi itu merupakan proses selektif dari interpretasi yang kemudian akan mewujud perbuatan, disamping bisa difahami bahwa dengan persepsi nisab sebagai ketentuan minimal maka ada proses edukatif yang sangat luar biasa bagi umat Islam untuk memotivasi diri mau berzakat sebanyak-banyaknya, ketimbang ketika nisab itu dipersepsi sebagai ketentuan maksimal.

Ketiga, zakat hanya dimaknai sebagai ibadah saja. Zakat selama ini hanya dimaknai oleh umat Islam pada umumnya sebagai ibadah semata, dengan demikian nilai zakat penetrasinya yang terpenting adalah bagi sipemberi zakat saja yaitu, terhindar dari dosa karena telah melaksanakan kewajiban ibadah yang hukumnya wajib dan mendapatkan pahala yang akan mengantarkan kehidupan dirinya selamat dan senang pada kehidupan di akhirat nantinya. Persepsi seperti itu tentu tidak banyak membawa kebaikan terutama bagi upaya pengentasan kemiskinan dan persaudaraan umat Islam yang sangat penting dan pokok merupakan hikmah diwajibkannya zakat dalam ajaran Islam.

Sudah saatnya bagi umat Islam berbenah diri, introspeksi diri, mengapa umat Islam lemah, umat Islam tidak maju, Umat Islam bodoh, miskin dan keterberlakang, dan masih banyak lagi stigma-stigma serupa yang diperuntukkan bagi umat . Ajaran Islam selalu mengajarkan agar umat Islam dapat hidup lebih baik dari hari kemarin. Dalam sebuah hadits Rasulullah dinyatakan “ Siapa yang keadaannya sama dengan keadaan hari kemarin maka mereka adalah orang yang merugi, siapa yang keadaannya lebih buruk dari hari kemarin maka mereka itu orang yang dilaknat oleh Allah, dan siapa yang keadaannya lebih baik dari hari kemarin maka mereka itulah orang yang beruntung “.( Al-Hadits ). Allah juga menyatakan dengan tegasnya bahwa Dia (Allah) tidak akan merubah keadaan umat Islam dari keterpurukan menjadi kesuksesan kecuali umat Islam itu sendiri yang mau berusaha merubahnya ( al-Qr’an Surat Ar-Ra’du ayat 11 ).

Tidak ada jalan lain kecuali umat Islam sadar sesadar-sadarnya dan mau mengubah persepsi diri tentang zakat, tidak saja bermakna ibadah saja, melainkan bahwa zakat di dalam ajaran Islam di samping bermakna ibadah, juga zakat diwajibkan karena mengemban misi persaudaraan Islam yang sejati dan sebagai sarana pengentasan kemiskinan. Kedua hal ini di dalam kehidupan masyarakat umat Islam memang betul-betul dibutuhkan keberadaannya.

Persaudaraan Islam yang hakiki tidak bisa tidak harus selalu diusahakan meskipun dalam realisasinya sangat sulit bahkan cenderung mustahil, itu semuanya karena umat Islam tidak mempunyai persepsi yang benar mengenai zakat untuk merajut persaudaraan sejati umat Islam. Dengan tidak adanya persepsi tersebut maka umat Islam tidak pernah ada usaha sama sekali melalui zakatnya diperuntukkan bagi terwujudnya persaudaraan sejati dimaksud Persaudaraan umat Islam saat sekarang ini sesungguhnya adalah persaudaraan yang semu, artinya bukan persaudaran yang sebenarnya atau persaudaraan sejati.

Persaudaraan yang ada dikalangan umat Islam hanya sekedar persaudaraan saling ikut merasakan kesedihan ketika ada yang ditimpa musibah, atau ikut merasakan kebahagiaan. Ketika ada saudaranya mendapatkan kebahagiaan. Belum sampai ketingkat ikut memikirkan, ikut berkorban untuk kepentingan saudaranya itu dalam kehidupan sosial masyarakat sehari-hari. Bahkan kecenderungan yang ada sesama umat Islam saling masa bodoh yang penting dirinya dan keluiarganya selamat. Keadaan seperti ini harus disadari oleh seluruh umat Islam dan dimulai dari para ulama, cendekiawan atau intelektual muslim dalam kerangka menyelamtkan umat kedepan.

Disisi lain persoalan kemiskinan umat Islam selalu ada di mana-mana. Dalam hal ini umat Islam tidak pernah ada usaha melalui zakat ini untuk memberantas Kemiskinan ini, persoalannya karena tidak adanya persepsi umat Islam bahwa zakat itu diwajibkan dalam Islam adalah untuk memberanatas kemiskinan, sehingga dengan persepsinya itu umat Islam tidak pernah ada usaha yang sungguh-sungguh memanfaatkan zakat itu untuk mengentaskan kemiskinan umat Islam. Kalaupun ada upaya pengentasan kemiskinan melalui ibadah zakat ini porsinya masih sangat kecil sekali, yaitu oleh sebagian kecil umat Islam yang sadar menggerakkan badan amil zakat.

Terus terang saja bahwa badan amil zakat pada saat itu masih segelintir kecil saja di seantero nusantara ini yang ada dan mulai bergerak memikirkan kearah pengentasan kemiskinan. Bagi badan amil zakat yang sudah ada di beberapa daerah di seluruh nusantara ini jika dilihat dari cara dan hasil kerjanya belum optimal. Untuk beberapa daerah boleh dikatakan bekerjanya masih konvensional. Bersyukur untuk beberapa daerah meskipun kuantitasnya masih sangat minim dan bisa dihitung dengan jari sudah mulai digarap mengarah kepada cara profesional.

Padahal apabila umat Islam mau sadar dan mau berfikir sedikit tentang manfaat zakat bagi pengentasan kemiskinan, maka hasilnya akan sangat luar biasa, dan hampir semua umat Islam setuju pasti akan bisa diatasi atau dientaskan kemiskinan itu dengan zakat, karena mayoritas penduduk Indonesia adalah umat Islam yang mempunyai bebanan zakat ini.

Di samping persepsi tentang zakat bagi umat Islam itu perlu diperbaharui, maka dalam hal sedekah ternyata kebanyakan umat Islam yang memiliki persepsi sempit tentang sedekah. Selama ini umat Islam persepsinya tentang sedekah sangat sempit. Sedekah hanya dimaknai sebagai sesuatu tambahan amal yang apabila mau ia kerjakan dan apabila tidak mau tidak apa-apa. Persepsi seperti ini tentu sangat sempit sekali, padahal menurut ajaran Islam sedekah itu di samping memiliki kebaikan dan keuntunganbagi diri orang yang bersedekah, juga meiliki kebaikan-kebaikan untuk masyarakat atau orang lain. Kebaikan bagi dirinya adalah bahwa orang yang bersedekah akan memperoleh pahala, semakin banyak sedekah yang diberikan , maka semakin banyak pahala yang diperolehnya, disamping itu orang yang banyak bersedekah akan disenangi oleh orang lain, dihormati dan dihargainya. Adapun keun tungan yang diperoleh, bahwa sedekah itu ternyata bisa menambah harta orang yang bersedekah itu, meminjam istilah Aa Gim sebutan untuk Abdullah Gimnastiar, seorang Kiai kondang saat ini bahwa sedekah itu adalah untuk memancing harta. Beberapa hadits Rasulullah saw. tentang sedekah ini cukup banyak : Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim : “ Tidak mungkin berkurang harta yang diberikan sebagai sedekah “. Hadits riwayat Imam Muslim: “ Nafkahkanlah hartamu,niscaya Aku memberikan nafkah kepadamu “. Hadits riwayat Imam Baihaqi : “ Turunkanlah (datangkanlah) rizkimu ( dari Allah ) dengan mengeluarkan sedekah “. Dan masih banyak lagi hadits yang sejenis.

Kalau sedemikian hebatnya manfaat sedekah bagi si pemberi sedekah, mengapa umat Islam tidak banyak yang mau besedekah, atau mau berlomba-lomba dalam bersedekah. Jawabannya tentu persepsi yang kurang atau keliru para umat Islam tentang sedekah ini. Kekeliruan persepsi ini bisa terjadi karena kurangnya informassi yang diperoleh tentang sedekah dari sumber ajaran Islam baik dari Al-Qur’an maupun hadits Rasulullah saw. Adapun kebaikan bagi orang lain atau masyarakat, maka dengan sedekah itu mampu mempererat silaturrahim atau persaudaraan atau persaudaraan atau persatuan umat Islam, dan yang tidak kalah pentingnya jika sedekah ini bisa diformat dan dikelola secara profesional, maka dipastikan dapat mengentaskan kemiskinan umat Islam yang saat ini menjadi momok utama umat Islam dan menjadi sumber persoalan sosial.

Dari uraian tersebut di atas, maka sudah saatnya bagi umat Islam mengetahui beberapa kebaikan dan keuntungan dari amal sedekah dan menjadikannya sebagai persepsinya, sehingga sedekah menjadi sesuatu yang menarik, menyenangkan dan sesuatu yang diutamakan. Tidak seperti selama ini bahwa sedekah hanya merupakan amal sambilan jika sempat dan mau saja dan tidak mempunyai arti kecuali hanya sedikit saja.

http://baitul-maal.com

0 komentar:

Posting Komentar